Akhirnya saya punya bahan untuk menulis di blog saya ini. Ya, saya terpikir untuk menulis tentang jurnalisme dari sudut pandang saya sendiri. Mungkin juga belum bisa disebut jurnalisme. Jika menemukan kata yang lebih sederhana, mungkin kata itu yang lebih tepat digunakan. Hal ini terpikir saat ingin mengambil mata kuliah jurnalisme namun masih terlalu “muda” karena masih banyak mata kuliah dasar yang harus diselesaikan, heheh
Baik, akan saya mulai. Sebelumnya, tulisan saya ini menurut perspektif saya sendiri. Jadi mungkin masih banyak kekurangan walaupun juga terdapat berbagai kutipan.
Jurnalis berarti subjek yang berhadapan sengan sebuah jurnalisme. Ini berarti dia sebagai pelaku yang memenuhi kebutuhan informasi yang ada dengan berita sebagai produk utama pabrik media jurnalisme.
Pikiran saya dulu, ketika masih menjadi reporter dan pemimpin redaksi majalah sekolah, berita hanya saya anggap sebagai suatu tulisan, condong ke subjektif bahkan, yang penting menarik dan ‘keren’ meurut kita sendiri. Ya, sering tertawa dan geli sendiri jika mengingat betapa lugunya saya waktu itu. Berita majalah sekolah yang saya pimpin hanya diisi dengan kuliner, cerpen, info ringan copas internet, atau investigasi (sangat) ringan dengan verifikasi sangat minim (kalau tak mau dibilang menyedihkan). Bahkan dulu saya belum mengerti apa itu verifikasi.
Itu hanyalah masa lalu, tak indah kalau itu semua hilang begitu saja. Sekarang, saat saya mencoba belajar tentang apa itu jurnalisme, saya mulai perlahan mengerti bagian-bagian penting di dalamnya. Dalam sebuah lembaga pers mahasiswa yang saya ikuti, saya diajarkan bahwa dalam membuat berita, utamakan reportase. Jika kita mendengar sebuah isu, seorang wartawan harus punya insting skeptis sehingga mendorong untuk melakukan investigasi. Selain itu dalam menjalankan sebuah reportase, diajarkan pula bagaimana kita bersikap. Etika dalam berhubungan dengan narasumber. Ya, teknis memang, tapi ini menjadi bahan pembelajaran saya dan lembaga pers ini menurut saya menjadi laboratorium saya sebagai mahasiswa ilmu komunikasi. Selain itu saya juga ikut bergabung dengan Mediator, media kampus yang hanya berisi berita-berita yang sudah ditarget, bisa dibilang sebagai media komunitas. Di sini berbeda lagi, saya dituntut menyajikan berita lebih khusus lagi, yaitu tentang kampus dengan segala tetek-bengek di dalamnya. Tantangan tersendiri tentunya.
Kembali ke dalam sebuah jurnalisme. Seorang wartawan dalam membuat berita memang dituntut memberikan sebuah kebenaran. Tapi kebenaran macam apa memang masih rancu. Benar menurut sumber, benar menurut hukum, benar menurut adat, atau justru benar menurut wartawan sendiri? Yang terakhir saya kuran setuju, karena akan menyalahi unsur jurnalisme, yaitu objektifitas, seperti diungkapkan Bill Kovach dan Tom Rosentiel. Benar di sini lebih saya pahami sebagai benar apa yang kita dapat di lapangan. Sumber berkata ya, sumber berkata tidak, referensi menulis benar, referensi menulis salah, semua harus kita susun dengan tanpa penambahan. Nah, di sini tentu dituntut sebuah kecerdasan seorang wartawan. Karena dari ya, tidak, benar, dan salah itu tadi harus lahir sebuah berita yang berimbang. Muncul masalah lagi, berimbang yang seperti apa?
Memang panjang jika membahas berita dalam kacamata jurnalisme yang sebenarnya. Tidak seperti infotainment yang hanya mengedepankan menarik dan ledakan awal saja.
Lain kali saya posting tulisan yang saya kutip dari buku Bill Kovach tentang 9 elemen jurnalisme, deh. Saya harus masuk kelas kuliah dulu. Selamat pagi semuanya.....
posted this morning heheh?
BalasHapus