Rabu, 08 April 2009

CERPEN (TAK PERLU REINKARNASI)

Letupan demi letupan serta puluhan letusan masih teringat dan terdengar di telingaku. Berulang kali doa dan harap kupanjatkan pada Tuhan Sang Pemegang Kuasa atas segala sesuatu. Berangan agar semua ini kembali seperti semula.

Hati mulai tenang.

..........

Tak terdengar tembakan lagi semenjak tembakan besar dua jam yang lalu. Sekarang yang terdengar dari dalam rumahku hanya gemuruh orang panik. Aku tetap di dalam rumah bersama ibuku yang lemah serta adik bayiku yang tidak berdaya. Ibuku selalu saja menangis. Mungkin beliau belum bisa menerima kepergian ayahku yang sepuluh jam lalu mati terkena bom geranat para tentara Jahanam. Terlihat kerudung merahnya basah air mata. Aku juga merasa sangat getir dengan keadaan ini. Apa sih maksud orang-orang biadap itu melakukan ini semua.

Waktu menunjukan hampir tengah malam. Tetap mencekam.

Suasananya tetap sama saja. Sepi yang mengerikan. Lebih mengerikan dari pada menunggu dirimu dieksekusi mati. Lebih mengerikan dari seseorang yang umurnya masih sepuluh detik. Sangat mengerikan.

Hatiku masih dicekam ketakutan. Ibu tak henti menangis. Adikku tak jauh berbeda. Dia tidur dengan raut muka tak nyenyak. Kuputuskan menonton TV dengan harapan dapat menghiburku walaupun sebenarnya keinginanku adalah dapat melihat siaran tentang tentara-tentara tak berperi kemanusiaan itu menyerah dan mencukupkan semua perang ini.


Tapi nihil, tak ada acara yang dapat mendendangkan kebahagian di hatiku. Semua channel diisi dengan acara perayaan tahun baru.


“Apakah yang telah kami lakukan sehingga tuhan menghukum kami. Orang-orang di nun jauh sana bisa bersenang-senang merayakan tahun baru dengan pesta dan kembang api. Tapi kenapa kita malah dihujami kepanikan dan tindasan. Aku hanya ingin keadaan kembali tenang. Aku tak ingin pesta, perayaan, ataupun kembang api. Hanya membuang-buang waktu saja. Aku hanya ingin ketenangan. Aku hanya ingin ketenanga, ya, aku hanya ingin ketenangan!!”

Ibu mulai tenang. Beliau sekarang berbaring meluruskan tulang punggungnya yang terlihat sangat tegar dan letih. Ibu mulai memejamkan mata untuk tidur. Aku melihatnya dengan hati takjub dan penuh asa. Wajah ibu terlihat sangat tak tenang walaupun dalam tidur. Perutnya terlihat mengembang dan mengempis menghirup udara di tengah tidurnya. Seakan udara ini akan segera habis jika tidak segera dihirup.

Aku masih juga belum bisa tidur. Kepala dan dadaku serasa tertusuk penuh udara dingin sesak yang kadang terasa dingin dan kadang juga terasa panas. Kubuka jendela kamarku. Dingin semakin menusuk dan meraba tanpa belas kasihan ke seluruh kulitku. Tapi ini lebih baik.

Kupandangi langit yang biru tua pucat tanpa bintang. Masih tersisa asap-asap hitam pekat beterbangan. Suara-suara ambulan samara-samar terdengar. Jalanan di dekat rumahku mulai sepi dari keramaian orang panik beberapa menit lalu. Tapi aku yakin tak jauh dari sini puluhan orang sedang berlari minta tolong dengan badan penuh luka parah.

Tiba-tiba di langit terlihat kilatan cahaya putih kekuningan yang tampak sangat kecil tapi berkilat-kilat semakin membesar. Semakin lama semakin mendekat jatuh ke bumi. Sampai di bawah hanya terlihat sinar kuning tua. Siapa yang merayakan tahun baru dalam keadaan seperti ini. Aku berpikir keheranan. Tapi Keanehan itu terjawab. Cahaya kekuningan itu sekarang semakin banyak Terlihat cahaya itu seperti dikeluarkan dari suatu titik di atas langit. Titik yang menjatuhkannya pun semakin lama semakin mendekat kearah rumahku.
Aku sadar. Itu bom!!! Hatiku pecah teriris. Apa akan terjadi lagi. Apa hidupku hanya sampai disini. Ya Tuhan, ampuni hamba. Cobaan apa yang engkau berikan. Apa yang harus hamba lakukan. Berilah hamba pertolongan, Ya Tuhan.


Titik cahaya itu semakin dekat dan terlihat semakin besar. Kubangunkan ibu dengan lembut bercampur rasa tak sabar. Ibu bangun dengan penuh keikhlasan walaupun terbebani. Kulihat matanya sangat teduh memandangku.

“Ada apa Is?”

“Ibu! Kita dijatuhi bom lagi! Kita harus cepat pergi!!.” suaraku sudah tak karuan.

Dari sela-sela mata ibuku keluar air mata sedikit demi sedikit. Beliau terlihat sangat sabar menghadapi ini semua walaupun nyawa mungkin sebentar lagi hilang. Ibu berlari menuju jendela. Kemudian menggendong adik bayiku erat-erat. Tak ambil banyak waktu, menggandengku, tak mau aku lepas.

Kami pun keluar dengan rasa panik tak terkira. Di luar sudah banyak orang yang menyadari adanya pesta bom di langit. Ada seorang laki-laki paruh baya yang kebingungan mencari perlindungan bersama keluarganya. Ada juga nenek yang tampak susah berdiri tetap mencoba untuk berlari. Andai aku mempunyai kuasa untuk tetap hidup walaupun aku tersengat radiasi bom, aku akan menolong semua orang di sini. Tapi ternyata itu tak kumuliki. Maaf, saudara-saudaraku. Air mataku merebak bagai anak bendungan yang telah jebol.

Langit-langit halaman seperti senja yang baru datang. Cukup terang. Itu berarti bom itu hanya tinggal beberapa kilometer dari sini. Sambil berlari, tangan kanan ibuku yang mantap semakin erat meremas pergelangan tangan ku sedangkan tangan kirinya tetap menggendong adikku dengan susah payah.

Kami semua berlari tanpa tujuan yang tepat. Berlari walaupun mungkin tak ada ujung di depan, atau bahkan kita tak bisa menggapai ujung itu. Tapi toh kita tetap berlari sekuat tenaga. Meyakini hal yang sangat absurt secara logika. Gemuruh terus bertambah keras. Sekeras aku terus berusaha berlari bersama seluruh saudaraku di sini.

Semakin lama kerumunan orang berlari semakin banyak. Kami semakin sulit berlari menjauh dari kejaran bom karena harus menghindari beberapa orang agar tidak tertabrak. Aku sangat kagum dengan ibuku. Beliau tetap berlari dengan gagah bak pahlawan. Yakin di depan sana adalah kehidupan milik kita semua. Miliknya, milikku, milik adikku, dan milik semua saudaraku.

Tiba-tiba genggaman ibuku lepas. Aku sedikit lambat menyadarinya karena terlalu berkonsentrasi dengan lariku. Ibuku tertinggal sepuluh meter dibelakangku. Sepertinya kakinya terkilir. Beliau tampak kesakitan tak bisa berdiri, apalagi bangkit untuk berlari lagi sementara cahaya di langit semakin terang.

Aku mencoba kembali. Tapi baru beberapa langkah kakiku berpijak, badanku terhuyung karena sebuah tangan mencoba menggandengku dengan paksa.

Pegangannya sangat kuat.

“Lepaskan!! Ibuku masih tertinggal!” aku berteriak karena belahan hidupku tertinggal di belakangku.

“Tak ada waktu nona.” bisiknya pelan. Walaupun aku yakin sebenarnya ia berteriak. Tarikannya sangat kencang dan tak dapat ditolerir. Ibuku semakin tertinggal jauh. Aku terus saja berteriak. Tiba-tiba terdengar dentuman keras diikuti semacam badai pasir yang arahnya di belakangku. Udara menjadi semakin panas. Aku bersama pria yang menarikku serta semua orang di sekelilingku terhempas sangat keras ke sagala arah. Hingga akhirnya sebelum badanku meyentuh tanah, aku tak sadarkan diri.

Hanya gelap yang kurasa. Punggungku terasa penuh goresan luka. Lenganku serasa diiris-iris dan kepalaku sangat pusing. Tapi aku akhirnya dapat membuka mataku perlahan. Aku tak percaya dengan diriku sendiri. Ternyata aku masih hidup dan sekarang berada di sebuah tanah lapang dan bersandar di sebuah kayu rongsok. Di sebelahku banyak orang yang kesakitan sambil beberapa perawat mencoba memberikan obat penghilang rasa sakit.

Walaupun badanku remuk akan luka, semua itu menjadi tak terasa apapun karena hatiku lebih terisis-iris mengingat ibu pasti sudah tiada. Aku sudah tak bisa berpikir apa-apa lagi. Aku ingin menangis tapi sepertinya air mataku sudah habis.

Seorang anak kecil, umurnya sekitar lima tahun menghampiriku. Memberikanku secangkir air putih lalu duduk disampingku. Dia sepertinya sudah diobatai karena terlihat dari beberapa bagian tubuhnya diperban.

“Terimakasih dik,” kataku lemah. “Apakah orang tuamu....”

“Ya, kak. Aku kehilangan mereka.” kata anak itu polos tapi penuh kesedihan. Aku yang mendengar itu malah menangis. Anak itu sendiri terlihat lebih tegar dari pada aku.

“Boleh kak aku tidur di pangkuan kakak? Aku lelah sekali, kak. Aku mau tidur.” anak kecil itu meminta. Aku mengangguk kasihan. Dia tidur di pangguanku seperti kucing yang tak makan dua hari penuh.

Di tengah-tengah tidurnya aku mendengar dia mengigau mengatakan sesuatu.

“Tetaplah hidup, kak. Aku melihat kemenangan besuk. Tetaplah di sini karena keadilan akan segera kembali kak. Percayalah. Tapi kalau kakak juga mengantuk, tidurlah bersamaku.” dia berhenti. Tapi napasnya juga ikut berhenti. Aku menangis tersedu-sedu tanpa suara. Segala kenangan menyedihkan dari mulai pengeboman pertama hingga saat ini seakan dipaksa masuk kembali ke dalam kepalaku. Aku ikut berbaring sambil memeluk anak kecil yang telah tiada itu erat sekali. Aku sudah tak mampu lagi berpijak. Akhirnya aku terlelap dalam tidur yang kelam.

Aku berada di dalam kegelapan. Tapi lama-kelamaan cahaya mulai menerangi. Anak kecil yang tidur di pangkuanku muncul di hadapanku.

“Kenapa kamu ikut kesini, kak?” Tanya anak itu lugu.

“Aku sudah tak kuat lagi, dik.” kataku penuh keikhlasan. “Seperti katamu tadi. Aku sangat mengantuk. Jadi aku menyusulmu kemari.”

“Baiklah, kak. Seperti kataku tadi, keadilan akan segera muncul dan mungkin di sini lah tempat kita sekarang bisa hidup. Walaupun kita tak bisa menikmati keadilan itu, paling tidak kita bisa melihatnya dari atas sini. Kita tak perlu reinkarnasi” kata anak itu akhirnya. Kemudian kami berjalan bergandengan menuju suatu tempat yang terang dan menyilaukan. Menuju tempat untuk membantu mempertahankan kebenaran dan keadilan. Di sini lah tempat kami. Kami tak perlu reinkarnasi.